Pria dan Wanita


Allah SWT berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (TQS. Al-Hujurat   : 13)
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepadaKu.” (TQS. Adz-Dzariyat : 56)
Bersegeralah kalian melakukan amal shalih. Sebab, akan datang fitnah-fitnah laksana malam yang kelam. Seorang beriman pada pagi hari, namun menjadi kafir pada sore harinya. Beriman pada sore hari, kafir pada keesokan harinya.” (HR. Bukhari).
Jelas sekali Allah al-Khaliq, Sang pencipta manusia menetapkan bahwa keberadanan manusia didunia ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Padahal, ibadah itu maknanya tha’atullah wa khudhu’un lahu waltizamu ma syara’ahu minad din. Yaitu taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkan-Nya.[1] Allah SWT telah menyeru manusia dengan berbagai taklif(beban hukum). Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khithab (seruan) dan taklif.
Allah telah menetapkan manusia, baik pria maupun wanita, dengan suatu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Baik wanita dan pria tidak berbeda dari lainnya dalam aspek kemanusiaan. Allah telah menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada interaksi keduanya dan keberadaan keduanya dalam masyarakat. Allah telah menciptakan pada masing-masingnya potensi kehidupan. Pemahaman mengenai potensi kehidupan inilah yang akan menentukan pemahaman selanjutnya tentang apa dan bagaimana manusia seharusnya melakukan aktivitasnya.[2] Yakni kebutuhan jasmani (hajat udhwiyyah) seperti rasa lapar, dahaga, buang hajat; serta berbagai naluri, yaitu naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’), dan naluri beragama (gharizah tadayyun). Kebutuhan jasmani dan naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada keduanya daya pikir atau akal yang terdapat pada pria dan juga wanita. Karena akal yang diciptakan Allah adalah akal manusia bukan akal pria atau akal wanita saja. Namun, perlu difahami bahwa ada perbedaan antara naluri dengan kebutuhan jasmani. Jika kebutuhan jasmani timbul karena unsur internal akibat kerja organ tubuh manusia, maka naluri timbul karena faktor eksternal. Yaitu realitas dan pemikiran. Sebagai contoh adalah kasus Nabi Yusuf dan permaisuri raja yang saling tertarik satu dengan yang lainnya karena adanya realitas. Bagi Nabi Yusuf, wanita tersebut adalah realitas yang dapat mempengaruhi gharizah nau’-nya.[3]
Sekaliapun naluri melestarikan jenis dapat dipuaskan oleh manusia dnegan sesama jenisnya, tetapi cara semacam itu tidak akan mungkin mewujudkan tujuan diciptakannya naluri tersebut kecuali pada satu kondisi saja, yaitu pemuasan naluri tersebut oleh seorang wanita dengan seorang pria atau sebaliknya. Hubungan pria-wanita dari segi naluri seksual adalah hubungan yang alamiah dan bukan merupakan hal yang aneh. Dari sinilah harus diwujudkan pemahaman tertentu mengenai naluri melestarikan jenis dan tujuan penciptaannya dalam diri manusia. Yakni melahirkan anak dalam rangka melestarikan jenis manusia. Pandangan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan naluri seksual dan menempatkannya secara benar pada tujuan penciptaannya. Atas dasar ini, harus ditegaskan perlunya mengubah secara total padangan masyarakat mengenai hubungan pria-wanita. Diharapkan pula pengubahan pandangan ini akan menghapus pemahaman yang membatasi hubungan itu sebagai hubungan yang berfokus pada kenikmatan dan kelezatan semata, dan menghilangkan dominasi pemahaman yang hanya berorientasi pada hubungan seksual. Pandangan ini harus selalu didominasi oleh ketakwaan kepada Allah SWT, sebagai suatu bentuk kenikmatan yang dibenarkan oleh syariah, mampu melestarikan keturunan, dan selaras dengan tujuan tertinggi seorang Muslim, yaitu mendapatkan keridhaan Allah SWT.
Ayat-ayat al-Qur’an datang dengan memfokuskan maknanya pada kehidupan suami-isteri, yakni pada tujuan penciptaan naluri melestarikan jenis (gharizah nau’). Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya naluri tersebut diciptakan untuk kehidupan suami-isteri, maksudanya untuk melestarikan keturunan. Dengan kata lain, naluri ini semata-mata diciptakan Allah SWT demi kehidupan bersuami-isteri saja. Agar pandangan masyarakat terhadap hubungan pria dan wanita terbatas pada kehidupan suami-isteri saja, bukan pada hubungan seksual pria dan wanita. Allah SWT berfirman :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS. An-Nisa : 1)
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.” (TQS. An-Najm : 45-46).
Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” (TQS. An-Naba’: 8).
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang.” (TQS. Ar-Rum : 21).
          Allah SWT menegaskan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai mahluk adalah dalam kehidupan suami-isteri. Allah mengulang-ulang hal ini hingga pandangan mengenai hubungan pria dan wanita harus selalu difokuskan pada kehidupan suami-isteri saja, yaitu untuk melahirkan anak demi melestarikan jenis manusia.
Wallahu a’lam bissawab.



[1] Menjadi pembela Islam hal 5
[2] Islam Politik dan Spiritual hal 44
[3] Islam Politik dan Spiritual

Komentar

Anonim mengatakan…
Interaksi antara pria dan wanita harus diatur dengan Islam. jika tidak, maka pergaulan bebas benar-benar merajalela.

Postingan populer dari blog ini

Inilah Indonesia

Remaja itu, Bukan Kera Sakti

Menu Makan Siangku, Bukan Terserah