Dompetpun Butuh Khilafah


Ditengah semester akhir, aku disibukkan dengan kesibukkan orang lain. Maklum semester akhir. Biasanya selalu disibukkan dengan berbagai hal. Atau lebih tepatnya menyibukkan diri.
November 2013.
Kelas kuliah yang kuambil tidak sebanyak semester awal. Jadi, aku punya akhir pekan yang lebih panjang dari yang lain. Disalah satu akhir pekan yang kupunya, kugunakan untuk membantu saudara sesuku-ku yang akan kembali kedaerah asalnya. Urusan perkuliahannya sudah kelar. Jadi, sudah waktunya dia kembali pulang dan menyebarkan ilmunya. Dan aku ikut membantu membereskan barang-barangnya yang akan dibawa pulang.
Singkat cerita, setelah semua barangnya dan pemilik barang sudah diangkut oleh transportasi umum, aku memutuskan untuk kembali ke komplek kampusku. Namun, karena akhir pekanku masih panjang, aku menginap di rumah saudaraku. Ketika perjalanan ke rumah saudaraku, aku menggunakan transportasi umum berupa bus yang dikelola oleh swasta. Bukan pemerintah. Karena di kota yang sedang kutinggali untuk mengenyam pendidikan strata satuku, transportasi umum daratnya ada milik pemerintah-yang disediakan oleh pemerintah daerah-dan ada yang dikelola swasta. Aku bersama saudaraku menggunakan transportasi yang dikelola oleh swasta. Walaupun pelayanan sangat, sangat tidak memuaskan dan sangat tidak nyaman berada didalamnya, aku tetap harus menggunakannya. Karena kost-an saudaraku hanya bisa dijangkau dengan transportasi umum milik swasta. Maklum, jalur peredaran bus swasta lebih luas dibanding bus milik pemerintah.
Setelah 10 menit berada di dalam bus, kami siap-siap untuk turun. Saat itu, aku tidak merasakan apa pun yang aneh. Namun, ketika telah sampai dikost saudaraku, akhirnya aku tahu apa yang kurang. Aku memang datang dengan selamat tanpa kurang satu apa pun. Tapi, ada yang kurang dari peralatan yang kubawa. Benda kecil yang menyimpan banyak hal di dalamnya. Dompet!
Memang, di dalam dompetku, alat tukar yang kupunya tidak terlalu banyak. Tapi, bagi mahasiswa perantauan seperti aku yang sangat mengandalkan investasi dari Negara maju (orangtua) itu duit yang cukup untuk biaya makan selama dua minggu. Dan karena yang hilang sedompet-dompetnya, maka berkas yang ada di dalam dompetnya pun hilang. Tanda pengenal dimana aku kuliah-Kartu mahasiswa, kartu elektrik yang dimasukkan ke dalam mesin otomatis, setelah ditekan pin keluar uang kertas tunai-ATM, tanda pengenal dari daerah mana aku berasal-KTP, dan lainnya.
Dan TKP-nya, aku yakin di dalam bus umum tersebut. Karena setelah kuulang lagi ingatanku, memang ada beberapa hal aneh yang kurasakan di dalam bus. Tapi karena aku ngantuk dan lelah, aku mengabaikan hal itu.
Saat aku ceritakan tentang kejadian yang menimpaku, banyak tanggapan dari orang-orang disekitarku. Yang inti dari semuanya adalah jaga dompet baik-baik! Secara tidak langsung, mengatakan aku tidak menjaga dompet baik-baik. Padahal sungguh, untuk mahasiswa perantauan yang berada diakhir bulan, dompet adalah barang yang harus dijaga keberadaannya. Ditengok keadaannya setiap kali. Kalau jumlahnya masih tetap, Alhamdulillah. Kalau berkurang, inna lillah.
Mereka yang memberi tanggapan kepadaku, memberi sebuah wasiat agar aku bisa menjaga dompet dengan sebaik-baiknya. Jika menyimpannya dalam tas, simpan dibagian tas yang paling dalam dan paling belakang. Dan jika berada ditempat umum atau transportasi umum, tasnya disimpan di depan. Dipegang erat dan dijaga. Terus, kartu-kartu penting, jangan disimpan semua di dalam dompet.
Namun, aku tidak langsung memakan mentah-mentah pesan tersebut. Ada hal ganjil dari pesan-pesan mereka yang harus kugenapkan. Pertama; kenapa aku harus repot-repot menjaga tasku dengan penjagaan ekstra? Dan jika melakukan hal itu selama hidupku, bukankah itu sangat membosankan?! Bayangkan, jika setiap aku belanja harus mengambil dompet yang kuletakkan dibagian terdalam dan paling belakang tas ranselku, bukankah itu butuh waktu yang lama untuk mengeluarkannya dari tasku? Karena aku membawa barang yang banyak di dalam tas, jadi jika aku menaruh dompetku di tempat paling bawah, bukankah aku harus membongkar satu per satu barang yang ada dalam tasku baru kemudian menemukan dompetku? Apa hal itu tidak membuat kasir bête dan orang yang ngantri setelahku, merasa jengkel?
Kedua; kenapa semua kartu penting kusimpan dalam dompetku, karena aku tidak suka mikir mencari benda-benda penting yang letaknya berjauhan. Dan alasan aku menyimpannya dalam dompet, agar jika dompet itu jatuh, orang yang menemukannya dapat mengembalikannya kepadaku. Bukan berpikiran naïf. Tapi aku masih percaya, kalau dalam diri manusia, ada sisi baiknya.
Tapi ternyata, sisi baik dan hati nurani manusia telah terbelenggu oleh sistem kapitalisme yang membuat manusia harus mampu hidup di tengah penderitaan dan kesengsaraan.   
 Aku jadi ingat, fakta sejarah ketika Syariat Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan. Ketika al-Qur’an menjadi Undang-undang suatu Negara. Ketika ijtihad merupakan metode menggali hukum. Ketika umat Islam bernaung dalam satu naungan. Yakni Daulah Khilafah. Keamanan pada masa Khilafah, sungguh tidak bisa dibandingkan dengan Negara manapun. Bayangkan, seorang wanita muslimah tidak takut melakukan perjalanan seorang diri dari makkah ke bagdad dengan menggunakan unta. Karena dia tahu, bahwa keamanannya telah dijamin oleh Khilafah.
Dan untuk permasalahan dompetku yang kecil itu, ternyata setelah kupikir matang-matang, kesalahan terbesarnya adalah terletak pada sistem negeri ini yang ternyata melahirkan para pencuri dan pelaku maksiat.
Kenapa aku bisa mengatakan demikian, akan aku jabarkan penjelasannya. Di negeri kita yang tercinta ini, yang katanya jambrut khatulistiwa, dan yang katanya sudah merdeka, ternyata masih diterapkan sistem ekonomi kapitalis pesanan asing. Sistem ekonomi yang bertumpu pada pasar bebas. Dalam kapitalis, akan ada suatu tangan yang tidak kentara (the invisible hands) yang mengatur perekonomian dan akan membawa perekonomian ke arah keseimbangan. Jadi, pemerintah tidak perlu banyak campur tangan mengatur perekonomian. Jika banyak campur tangan, pasar akan mengalami distorsi, yaitu terjadi ketidakefisienan dan ketidakseimbangan. Jadi, biarkan saja harga bawang merah, cabai, minyak goreng, beras, daging, naik setinggi-tingginya. Nanti dengan sendirinya akan mencapai keseimbangan sendiri. Dan Negara juga tidak boleh banyak mengekspor berbagai macam komoditi, tetapi cukup beberapa komoditi tertentu saja dan mengimpor kebutuhan komoditi lainnya. Sehingga akan tercipta keseimbangan pasar internasional dan setiap negara dapat memproduksi komoditi unggulannya secara lebih efisien. Baik bukan?
Mekanisme pasar bebas memang mampu berperan untuk mendistribusikan barang dan jasa di tengah-tengah manusia. Namun kenyataannya, mekanisme pasar bebas tidak pernah mampu menyelesaikan persoalan distribusi secara adil dan merata di tengah-tengah manusia. Mekanisme pasar bebas hanya membuat pihak yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dan jurang antar mereka sangat dalam dan selalu digali setiap waktu.
Dan ternyata, ada beberapa hal yang menyebabkan mekanisme pasar bebas gagal, yaitu: Distribusi hanya bertumpu pada harga, adanya perbedaan kepemilikan asal, fakta barang dan jasa yang ada di pasar, struktur harga mudah terdistorsi dan berkembangnya pasar-pasar semu.
Distribusi dalam mekanisme pasar bebas hanya bertumpu pada harga yang terbentuk di pasar. Akibatnya, distribusi yang terjadi hanya distribusi yang bersifat ekonomi semata. Barang dan jasa yang terdistribusi juga hanya yang memiliki nilai ekonomi saja. Konsekuensinya, distribusi barang dan jasa hanya akan berputar pada orang-orang yang memiliki akses ekonomi saja. Mereka yang tidak memiliki akses ekonomi akan mudah tereliminasi dari perputaran barang dan jasa tersebut.
Kekayaan alam yang tersedia di bumi ini pun tidak terbagi secara merata untuk setiap manusia yang lahir di dunia ini. Ada manusia yang sejak lahir sudah menguasai banyak kekayaan alam, ada yang sedikit, ada pula yang tidak memiliki sama sekali. Adanya perbedaan asal itu membuat persaingan yang terjadi di pasar bebas menjadi tidak adil dari sejak awalnya. Sehingga, distribusi yang mengandalkan mekanisme pasar bebas akan sangat sulit untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan.
Barang dan jasa yang masuk di pasar pun tidak seluruhnya melalui proses produksi. Banyak barang dan jasa yang dapat langsung dipasarkan dari alam, tanpa harus melalui proses produksi. Mereka yang menguasai akses SDA akan lebih berpeluang menguasai pasar dibanding dengan yang tidak. Kenyataan ini membuat mekanisme pasar bebas semakin sulit untuk mewujudkan keadilan dalam distribusi barang dan jasa.
Harga di pasar pun terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran. Mekanisme permintaan dan penawaran di pasar sangat mudah dikendalikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi. Harga yang terbentuk di pasar sangat mudah dimanipulasi oleh kekuatan opini, jaringan dan informasi yang telah mereka kuasai. Demikian juga kebutuhan barang dan jasa yang semu-pun mudah diciptakan dengan segala akses yang telah mereka miliki.
Pasar bebas memberikan kesempatan luas bagi masuknya segala “komoditi”, asalkan memenuhi prinsip permintaan dan penawaran. Komoditi di pasar akhirnya tidak hanya yang bersifat riil, tetapi juga yang non riil. Komoditi non riil selanjutnya melahirkan pasar semu, seperti pasar uang, pasar modal, pasar valas dan sebagainya. Kenyataannya, pasar-pasar tersebut paling banyak menyedot perputaran uang dan tidak banyak memberi implikasi terhadap sektor riil. Akibatnya, distribusi perekonomian semakin timpang.
Jadi, jika ditanya kenapa para pencuri itu nekad mencuri? Karena sebagian dari mereka sudah tidak tahu harus mencari nafkah kemana, akhirnya cara haram pun dilakukan. Ingin kerja, tidak ada lapangan kerja yang tersedia. Melamar dikantor, perlu ijazah yang tinggi. Sedangkan mereka kebanyakan hanya lulusan SMA. Ingin lanjut ke perguruan tinggi tidak sanggup karena biayanya yang melangit. Dan walaupun ada yang berhasil melanjutkan keperguruan tinggi dan lulus dari strata satunya, namun masih terhalang dengan syarat dan ketentuan untuk mencari kerja. Akhirnya, mereka membuka usaha sendiri atau menjadi pedagang kaki lima. Tapi sayangnya, belum sempat balik modal, mereka sudah digusur. Tapi, mereka harus tetap mencari nafkah untuk menghidupi diri mereka. Ditengah himpitan ekonomi dan harga sembako yang terus merangkak naik, serta subsidi yang terus diamputasi, maka wajar rakyat banyak yang tidak berpikiran jernih.
“Kami mencari uang makan secara halal dikejar-kejar, dagangan kami dihancurkan, apakah mereka menginginkan kami ini jadi perampok.”
Itulah jeritan hati mereka. Dan dompetku, jadi korban dari rakyat-rakyat tersebut. Tapi, bukan berarti rakyatnya tidak bersalah juga dong. Pertama; kenapa dia mencuri? Apa dia tidak tahu bahwa hal itu tidak boleh dalam Islam? Kalau tidak tahu, kenapa tidak mencari tahu. Dan kalau sudah tahu, kenapa mereka masih melakukannya?
Yah, memang hanya masalah dompet. Tapi, penyelesaiannya juga butuh Negara. Jika Negara benar-benar mengurus rakyatnya, maka tidak mungkin rakyatnya ada yang mencuri. Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada satu pun rakyat yang pantas menerima zakat karena saking sejahteranya mereka. Dan jika Negara menerapkan syariah Islam dalam sistem pemerintahan dan al-Qur’an sebagai undang-undang dasar Negara, maka tidak mungkin ada rakyat yang berani mencuri karena sanksi yang diterima sangat berat.
 Jadi, untuk para korban yang nasibnya sama seperti nasibku-dompetnya hilang-mari kita berjuang untuk menegakkan Khilafah agar dompet-dompet kita dan dompet teman-teman kita tidak hilang lagi. Tapi, alasan berjuangnya bukan karena dompet ya? Tapi sesuatu yang lebih besar dari itu.

Yah, inilah kisahku dan dompetku yang malang. Walaupun kau jauh disana, aku masih tetap merindukanmu. Hahaha.

Komentar

Anonim mengatakan…
yah...
dunia ini memang butuh khilafah.

Postingan populer dari blog ini

Inilah Indonesia

Remaja itu, Bukan Kera Sakti

Menu Makan Siangku, Bukan Terserah