NuO's Path
#Tersesat
Setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tanpa terkecuali aku. Aku juga manusia biasa. Sama seperti orang yang membaca buku ini maupun yang tidak membaca buku ini. Tidak memiliki kekuatan super apapun seperti dalam film pahlawan kebenaran. Aku tidak bisa berubah kemudian berganti pakaian pelindung untuk melawan monster yang mengganggu kedamaian bumi.
Aku tidak bisa menghilang, terbang, menembus dinding, memecahkan tembok, bergerak secepat kilat, elastis, mengeluarkan jaring dari tangan atau menghentikan waktu. Aku tidak mempunyai semua itu. Yang kupunya adalah ide besar untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Tidak ada kelaparan, kemiskinan, penindasan kaum minoritas, pelecehan, pengangguran, putus sekolah, pendiskriminasian disemua tempat yang ada dibumi. Dan aku tahu, itu bukan hanya tugas pahlawan. Tapi, itu tugas bagi semua penduduk bumi yang menginginkan dan mendambakan kesejahteraan mengelilingi hidupnya.
Dan untuk kalian semua, bukalah mata kalian, telinga kalian, dan kepekaan kalian! Lihat dan saksikanlah bahwa dunia yang kita tinggali dalam derita. Karena ideologi kapitalis yang mendominasi mengajarkan bahwa ‘memakan’ manusia adalah hal yang wajar untuk bertahan hidup.
Kembali kekisahku. Tentang kekuranganku yang akhir-akhir ini baru kurasakan sangat mengganggu. Tersesat!
Apa yang akan kalian lakukan jika kalian tahu kalau kalian tersesat? Mungkin sebagian ada yang mengambil tindakan dengan melihat peta kembali. Mencari posisi berdiri. Atau mungkin, yang lebih praktis langsung bertanya pada orang-orang sekitar. Karena malu bertanya sesat di jalan.
Dan aku, bukan komunitas keduanya. Aku bukan orang yang mampu membaca peta. Ukirannya seperti gambaran abstrak yang belum siap untuk dipajang di galeri. Seluk-beluknya seperti labirin dalam hutan kegelapan. Menentukan arah mata angin saja aku tidak bisa. Aku hanya bisa menentukan arah barat jika aku sedang berada dalam masjid. Tidak lebih. Setidaknya, aku bisa membedakan antara kanan dan kiri. Dan aku pun tidak mau menggunakan kompas kemana pun aku pergi. Aku bingung membacanya. Karena aku bukan Nami sang navigator kru Mugiwara Luffy. Walaupun sebenarnya, kru laut yang paling kukagumi adalah navigator.
Sebagian orang, pasti ada yang mengenal seseorang yang bernama Roronoa Zoro. Salah satu kru dari kelompok bajak laut Mugiwara (Topi Jerami) Luffy. Jabatan sebagai Ahli Pedang atau juga sebagai Devisi Tempur. Dengan julukan Pemburu Bajak Laut. Orang yang awalnya tidak berniat menjadi bajak laut. Tapi, karena dia tersesat ketika mencari lawan yang ingin sekali di kalahkannya-salah satu dari Shicibukai, Mihawk-dan akhirnya, demi mencukupi hidupnya dia berprofesi sebagai pemburu bajak laut. Selanjutnya, bertemu dengan Monkey D. Luffy, dan diajaklah menjadi krunya.
Kenapa dengan Roronoa Zoro? Karena hanya Roronoa Zoro tokoh kukenal yang selalu tersesat. Aku tidak tahu kenapa, dia memang ahli dalam tersesat. Keahliannya dalam tersesat seperti keahliannya dalam mengayunkan pedang.
Sebelum aku menceritakan tentang kisahku kali ini. Aku ingin kalian mengenal karakterku sedikit. Bukan bermaksud apa pun. Hanya untuk maklumat pengantar. Agar tidak heran dengan apa yang aku lakukan. Karena kata temanku, hal yang kulakukan selalu mengherankan. Kata ‘aneh’ memang paling pas dipadankan untukku.
Yang ingin kuberitahu tidak banyak. Jadi, ingatlah. Karena aku orang yang sedikit bermasalah dalam ingatan. Aku tidak bisa mengingat wajah orang lain jika aku belum melihatnya selama kurang lebih 15 menit. Tapi, jika aku sudah melihatnya lebih dari 15 menit, maka aku akan akrab dengan wajah itu. Jadi, seperti apa pun dia merubah penampilannya, aku tetap dapat mengingatnya. Menggunakan kosmetik seperti apapun dan mengubah gaya rambutnya seperti apapun, aku masih bisa mengenalnya. Dengan syarat, dia tidak operasi plastik.
Satu hal lagi, tentang hal-hal yang tidak aku sukai. Aku tidak punya alasan mendalam tentang hal yang tidak aku sukai. Biasanya, aku tidak perlu alasan untuk tidak menyukai sesuatu. Tapi, untuk membenci dan mencintai sesuatu aku selalu punya alasan. Benda yang paling tidak aku sukai adalah obat. Ada yang mengatakan, terkadang seseorang merasakan sakit, akan tetapi dia tidak tahan dengan pahitnya obat, sehingga ia lebih memilih sakit dari pada merasakan pahitnya obat. Bukan karena obat itu pahit aku tidak suka. Tapi, karena tidak asin. Itu saja alasanku. Tidak lebih. Dan, tubuhku hanya perlu tidur jika sedang tidak sehat. Dia-tubuhku-mengerti apa yang dia butuhkan. Jadi, aku tidak akan memaksanya mengkonsumsi obat-obat kimia yang aku tidak tahu cara pembuatannya.
Tempat yang paling tidak aku sukai, adalah rumah sakit. Dan orang yang tidak aku sukai adalah dokter. Mereka adalah orang yang bekerja saat dibayar. Memang tidak semua dokter seperti itu. Tapi, setiap dokter yang aku temui seperti itu. Mungkin, aku yang tidak beruntung. Bertemu dengan dokter-dokter yang menjadikan uang sebagai asas aktivitasnya. Aku juga tidak bisa menyalahkan dokter-dokter itu. Karena mereka memang tidak patut disalahkan. Hal salah yang mereka lakukan karena terkontaminasi oleh sistem salah yang diterapkan di negeri ini. Hal terakhir yang paling tidak aku suka adalah, jatuh! Aku benar-benar tidak suka jatuh. Jika sesuatu hal yang akan aku lakukan memiliki kemungkinan besar untuk terjatuh, maka aku tidak akan mau melakukannya. Bukan karena jatuh itu memalukan, atau pun bisa membuat sakit dan cidera. Tapi, aku tidak suka jatuh karena jatuh itu kebawah!
Cerita ini kumulai ketika aku berkunjung ke kota gudeg. Yogyakarta. Kota yang sepertinya mengkonsumsi gula terbanyak. Kenapa tidak, semua makanan yang dimasak, memiliki kandungan gula terbanyak. Bahkan, sambal pun dibuat manis. Aku benar-benar prihatin pada cabai yang kodratnya diubah tanpa seizinnya.
Waktu 2 tahun yang kuhabiskan di Jogja, telah cukup membunuh nafsu makanku terhadap sayuran. Masih lebih untung dibandingkan Gauce Sueda (salah satu tokoh dalam manga Letter Bee) yang kehilangan indera perasanya karena selalu memakan sup super tidak enak buatan Sylvette Sueda. Membahas tentang Gauce Suede, jadi ingat para Tegami Bachi. Jika suatu hari entah kapan, ada pengrekrutan untuk menjadi Tegami Bachi, aku yakin aku akan langsung tereliminasi. Bukan karena gagal dalam ujian masuk. Tapi, karena tidak bisa membaca peta. Bagiku, peta seperti permainan ular tangga yang lupa diberi nomor. Terlihat sama dan membingungkan. Pantas saja, pepatah lama berbunyi, “Malu bertanya, sesat dijalan.” Bukan “Lupa bawa peta, sesat dijalan.” Karena masih banyak orang yang tersesat walaupun membawa peta. Tidak termasuk aku.
Baiklah. Kembali ke kisahku. Kisah kenapa aku tersesat dan apa yang aku lakukan selama tersesat.
Dengan percaya diri, aku mengelilingi sekitar wilayah malioboro. Namun, aku menghentikan aktivitas itu sebelum masuk waktu ashar. Karena bus kota menuju ke asramaku terakhir beroperasi tepat ba’da ashar. Untuk itu, aku tidak mau terlambat. Jika aku terlambat, maka aku tidak akan mendapatkan bus. Itu berarti aku harus menunggu besok pagi.
Tepat jam 2 siang, aku sudah berada dipangkalan bus yang akan membawaku sampai ke asramaku. Bus itu bernama Jalur 9. Tapi, setelah menunggu sejaman lebih, bus Jalur 9 belum juga datang. Aku tidak mengerti kenapa. Bukankah dia seharusnya masih beroperasi? Mungkin untuk hari ini, bus jalur 9 agak telat. Jadi, aku memutuskan untuk tetap menunggunya. Menunggu memang paling membosankan. Agar kebosanan itu tidak melahapku, aku sok akrab dengan orang yang juga sedang melakukan aktivitas yang sama denganku. Menunggu datangnya bus jalur 9.
“Nunggu jalur 9 juga?” Tanyaku membuka percakapan.
“Iya. Tapi kok belum datang sampai sekarang.”
“Mungkin agak telat kali, ya?”
Timpal dua orang secara bergantian. Sebut saja mereka Ice dan Cold.
Mungkin karena kami bertiga sedang bosan, obrolan disiang hari itu sangat membantu membakar kebosanan. Dari percakapan itu, aku tahu bahwa mereka para perantau yang datang ke jogja untuk mengenyam pendidikan tinggi. Ice lebih tua dari aku. Sedang Cold jauh lebih muda dari aku dan baru semester satu.
Tanpa terasa, obrolan kami menghabiskan waktu 30 menit. Dan jalur 9 belum juga memunculkan batang hidungnya.
Tempat kami menunggu bus jalur 9, juga tempat menunggu bus jalur 15. Bus jalur 15 selalu lewat setiap 20 menit sekali. Tentu kami tidak mempedulikannya. Karena bukan itu yang kami tunggu. Bus jalur 15 lewat kembali. Dan sepertinya ini armada yang terakhir. Dan aku pun tetap tidak memedulikannya. Karena bukan dia yang kutunggu.
Namun tiba-tiba, seorang tukang ojek yang menyaksikan kami menunggu bus sejak tadi, menyapa kami.
“Nunggu jalur 9, ya?”
“Iya.” Jawab kami serempak.
“Jalur 9 hari ini tidak beroperasi. Lagi ada pesanan ke Solo.” Gubris tukang ojek itu lagi. “Naik jalur 15 aja.” Sambungnya datar.
Aku diam tanpa langsung menjawab. Jujur aku syok. Tapi, kebingunganku lebih besar lagi. Kenapa tukang ojek itu baru memberitahu kami sekarang? Kenapa tidak sejak awal. Bukankah sejak tadi kami tidak mempedulikan kedatangan bus jalur 15 karena kami menunggu jalur 9? Baiklah. Aku tidak akan memusingkan hal itu. Terima kasih atas pemberitahuannya. Setidaknya aku tidak perlu menunggu jalur 9 lagi. Tapi, permasalahan selanjutnya datang. Lalu, bagaimana denganku? Jalan menuju asramaku hanya menggunakan bus jalur 9 atau taksi. Biaya taksi sampai ke asramaku kira-kira sebesar 70.000 rupiah. Dan aku tidak mungkin memilihnya. 70.000 itu nilai yang tidak sedikit untukku. Jika berhemat, itu bisa untuk makan selama seminggu dengan lauk tahu atau tempe.
Ditengah kebingunganku, Ice mengatakan sesuatu padaku.
“Ikut ke kost kami aja. Bisa kok naik jalur 15. Tapi, ntar jalan kaki sekitar 15 menit.”
“Iya. Bermalam aja. Besok aja baru keasramamu.” Timpal Cold.
Aku tersenyum.
“Ok.” Jawabku simple.
Tanpa pikir panjang, aku ikut dengan mereka menggunakan bus jalur 15. Dan bermalam di kost mereka. Besok paginya, baru aku pulang ke asramaku.
Mendengar kisahku, teman sekamarku geleng-geleng kepala.
“Kamu langsung ikut aja pas mereka nawarin?” Tanyanya bingung. Aku hanya mengangguk. “Kamu ga takut?” aku menggeleng. “Gampang sekali sih kamu diculik. Diajak langsung mau.” Celotehnya.
“Soalnya aku ngga mikir sampai kesana.” Jawabku datar.
“Untung aja kamu ketemu orang baik. Bagaimana kalau mereka berniat jahat? Nyulik terus jual kamu?”
Aku tidak menjawabnya. Kenapa aku langsung ikut tanpa memikirkannya sekali lagi, karena aku tidak merasa dia akan melakukan sesuatu yang buruk padaku. Dan aku selalu yakin, bahwa Allah akan menolong hamba-Nya.^_^. Dan ini bukan terakhir kalinya aku melakukan hal ini. Beberapa bulan setelah kejadian ini, aku ikut lagi dengan orang yang baru saja aku kenal beberapa jam.
Yah, itulah sedikit tentangku dan tentang hal yang sering kulakukan. Kuharap dapat memberi sedikit pencerahan untuk kalian semua dalam bersikap. Ambil yang baiknya saja. Dan beritahu aku jika ada yang salah. Agar aku dapat memperbaikinya.
Komentar