Renungan Rumah Tangga
RENUNGAN RUMAH TANGGA
Bismillaahir rahmaanir rahiim...
Silakan dibaca perlahan untuk diambil hikmahnya...
ISTRI
Pada suatu Subuh yang dingin, kudapati ibu sudah sibuk memasak untuk keluarga.
Aku pun bertanya, “Ibu masak apa? Bisa kubantu?”
“Ini masak gurame goreng. Sama sambal tomat kesukaan bapak,” sahut beliau sambil tangannya terampil menggoreng gurame.
“Alhamdulillah... mantap, pasti. Mari saya bantu. Eh, bu... calon istriku, dia tidak bisa masak, loh...” selorohku.
“Iya, terus kenapa?” sahut ibu.
“Ya, tidak kenapa-napa sih, Bu... hanya cerita saja, he he he...” jawabku agak malu.
“Jangan dipikir memasak, mencuci, menyapu, mengurus rumah, dan lain lain itu kewajiban istri, loh...” jawab Ibu.
“Hah??? Maksud ibu...?” kataku kaget.
“Itu semua adalah kewajiban lelaki...” jawab Ibu pendek.
“Tapi bukankah Ibu setiap hari melakukannya?” tanyaku keheranan.
“Kewajiban istri adalah taat pada suami. Karena bapak itu tidak mungkin bisa mengurusi rumah sendirian, maka ibu bantu mengurusi semuanya. Sebagai wujud cinta dan juga wujud istri yang mencari ridha suaminya,” jelas Ibu sambil terus asyik masak.
"Kok saya makin bingung, Bu?" tanya saya sambil garuk2 kepala.
“Bukankah kewajiban seorang suami untuk menafkahi istrinya? Baik itu sandang, pangan, dan papan?” tanya ibu.
“Iya, tentu saja, Bu,” jawabku pendek.
“Menurutmu pengertian nafkah itu yang seperti apa? Pakaian yang bersih adalah nafkah. Sehingga mencuci adalah kewajiban suami. Makanan adalah nafkah. Kalau beras. Itu masih setengah nafkah. Karena belum bisa dimakan. Sehingga memasak adalah kewajiban suami. Lalu rumah adalah kewajiban suami. Sehingga kebersihan rumah adalah kewajiban suami,” jelas Ibu lagi.
“Waaah... sampai segitunya, Bu? Lalu jika itu semua kewajiban suami, kenapa Ibu tetap melakukan itu semuanya tanpa menuntut bapak sekalipun?" aku menimpali sambil balik bertanya.
"Karena ibu juga seorang istri yang mencari ridha dari suaminya. Ibu juga mencari pahala agar selamat di akhirat sana. Karena ibu mencintai ayahmu, mana mungkin ibu tega membiarkan ayahmu yang baru pulang bekerja untuk melakukan tugas itu semua. Jika ayahmu berpunya, mungkin pembantu bisa jadi solusi. Tapi jika belum ada, ini adalah ladang pahala untuk ibu,” jelas Ibu sambil mengangkat wajan dari atas kompor.
Aku hanya diam mendengar jawaban itu...
“Pernah dengar cerita Fatimah yang meminta pembantu kepada Nabi karena tangannya lebam disebabkan menumbuk tepung? Tapi Nabi tidak memberinya.
Atau pernah dengar juga saat Umar diomeli istrinya? Umar diam saja karena tahu betul. Wanita kecintaannya sudah melakukan tugas macam2 yang sebenarnya itu bukanlah tugas istri. Tapi karena patuh dan taatnya wanita pada suaminya, sehingga semua ikhlas dikerjakannya," lanjut Ibu.
“Iya, buu…” jawabku pendek.
“Jadi, kebanyakan laki-laki selama ini salah sangka ya Bu, seharusnya setiap suami berterima kasih pada istrinya. Lebih sayang dan lebih menghormati jerih payah istri,” lanjutku mengambil kesimpulan.
“Eh. Terus kenapa Ibu tetap mau melakukan semuanya, padahal itu bukan kewajiban Ibu?” tanyaku lagi.
“Menikah bukan hanya soal menuntut hak kita. Atau menuntut kewajiban suami kita. Tapi banyak hal lain. Mengendalikan ego. Menjaga keharmonisan. Mengalah. Kerja sama. Kasih sayang. Cinta. Dan Persahabatan. Menikah itu perlombaan untuk berusaha berbuat baik satu sama lain. Yang wanita membantu suaminya dengan sebaik-baiknya. Yang suami juga membantu istrinya dengan maksimal. Toh, impiannya rumah tangga bahagia di dunia sampai masuk surga,” jelas Ibu panjang-lebar.
“Subhanallah... Eeeh kalo calon istriku tahu hal ini dan dia malas ngapa2in, Bu?” tanyaku was-was.
“Wanita beriman tentu tahu bahwa ia harus mencari keridhaan suaminya. Sehingga tidak mungkin setega itu. Sedang suami beriman tentu tahu bahwa istrinya telah banyak membantu. Sehingga tidak ada cara lain, selain lebih menyayanginya,” pungkas Ibu menyimpulkan pembicaraan Subuh itu.
~~~~~~~~~~~~~~~
Komentar